Oleh JE Sahetapy
Keledai adalah binatang yang tangguh dan kuat memikul beban. Mungkin seperti sudah ditakdirkan, ia dipandang sebagai binatang bodoh. Kata pepatah dalam bahasa Belanda, zo dom als een ezel ’bodoh seperti keledai’.
Meski dipandang bodoh, keledai tidak akan terantuk pada batu yang sama untuk kedua kalinya. Ada ungkapan seperti itu dalam bahasa Belanda. Jadi, kalau terantuk pada batu yang sama untuk kali kedua, seseorang berarti lebih bodoh daripada keledai.
Sungguh menarik bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi pernah mengalami kasus yang cukup menghebohkan yang dikenal sebagai cicak versus buaya. Media massa dan mereka yang bergelar SH ribut membicarakannya sampai presiden terpaksa membentuk ”komisi khusus” untuk menanganinya. Yang semula dipandang sebagai pahlawan dari pihak kepolisian kemudian mengalami nasib malang sebab ”dosa-dosanya” pada waktu yang lalu diobrak-abrik dan dikeluarkan dari lemari penyimpan dosa-dosa meski yang bersangkutan sudah naik pangkat dengan beberapa bintang di bahunya.
Itu suatu peristiwa memuakkan yang merupakan blunder kepolisian yang sesungguhnya tidak boleh terjadi, apalagi terulang kembali. Sungguh memalukan!
Kualat
Namun, begitulah, ”hukum alam kualat” akan berlaku bagi siapa saja yang mengira dengan tangan kekuasaan ia bisa ikut memerintah negeri mana pun dengan sesuka hati. Dan, hukum tersebut secara mutatis mutandis akan berlaku pula bagi mereka yang memiliki kekuasaan di Senayan. Jika diamati dengan cermat apa yang mereka ucapkan dengan nada pembalasan dendam yang ditujukan kepada KPK (karena kawan-kawan senasib mereka yang rakus uang rakyat jatuh tersungkur di tangan KPK), tidaklah mengherankan kalau KPK menjadi sasaran dendam kesumat tembak mereka.
Mereka terperanjat ketika Pilkada DKI Jakarta dimenangi Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama karena integritas. Rakyat sudah muak dengan janji kosong dan berkibarnya panji-panji parpol yang besar sekalipun. Tiba-tiba mata mereka yang berkuasa secara politis terbelalak begitu mengetahui hasil yang tak disangka-sangka itu. Dengan begitu gencar, tembakan untuk melumpuhkan KPK melalui sarana penyadapan dan otak-atik KUHAP, yang sebetulnya sudah ketinggalan zaman, direspons rakyat dan kaum intelektual di Jakarta. Kemudian itu membahana di seluruh pelosok Indonesia.
Maka, tadinya nasib KPK seperti di ujung tanduk, ibarat tsunami yuridis, kini berbalik arah: semuanya mendukung KPK. Bayangkan tonjokan ini: ”Siapa yang mengerdilkan KPK, berarti pengkhianat bangsa dan antek koruptor, berlaku untuk siapa saja!”
Namun, apa mau dikata. Keledai yang dikenal lambat berpikir tiba-tiba ingin mengulangi kebodohan cetakan kedua cicak versus buaya dengan judul basi nasi tengik dari Bengkulu. Sungguh mengherankan bahwa penasihat-penasihat hukum di Jalan Trunojoyo tidak waspada dan mengingatkan bahwa keledai jangan sampai terantuk pada batu yang sama untuk kali kedua.
Kata subkultur dominan, ”untung tokoh pencitraan kali ini cukup waspada dan tidak mengulangi skenario yang gagal”. Memang suka atau tidak, setuju atau tidak, rumah yang bau apek di Kebayoran itu perlu dibersihkan sebelum datang matahari baru di ufuk 2014. Viva KPK! Bersihkan terus sampai luka borok yang bau busuk itu betul-betul bersih dan sembuh.
Ingat peribahasa yang tak ada padanannya di Indonesia: Zachte heelmeester maken stinkende wonden ’dokter yang mencla- mencle akan membuat luka yang bobrok itu bernanah’. Selamat KPK dan maju terus pantang mundur bersihkan korupsi!
JE Sahetapy Guru Besar Emeritus Kriminologi Unair
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary
Anda sedang membaca artikel tentang
Viva KPK!
Dengan url
http://mobile-sulition.blogspot.com/2012/11/viva-kpk.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Viva KPK!
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Post a Comment