JAKARTA, KOMPAS.COM - "Beli rume di Manggarai, tempatnya dulu sarang narkoba. Sesame agama kite saling menghargai, kita jangan sampai diadu domba." Satu buah bait pantun tersebut dilontarkan Zahrudin Ali Al Batawi, pria asli Betawi, penulis buku kumpulan pantun Betawi keluaran pada tahun 2010 silam.
Saat ditemui tak jauh dari rumahnya di Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, ayah dua anak yang dikenal sebagai raja pantun di kampungnya itu tak keberatan menceritakan pengalamannya menggeluti dunia pantun.
"Secara resmi 17 tahun sudah saya mantun. Sisanya ya iseng-iseng aja. (Soal buku pantun), semuanya berasal dari anak saya," ujar pria yang akrab disapa Bang Udin.
Pada tahun 2010, ia mengantar anak bungsunya ke Perpustakaan Nasional. Saat itu, ia turut melihat-lihat koleksi yang di perpustakaan terlengkap tersebut. Namun, kegelisahan muncul di hati Bang Udin. Pasalnya tak ada satu pun buku yang berisi kumpulan pantun.
Berbekal kegelisahan dipadu tekad melestarikan budaya kampung halamannya, Bang Udin mulai mengumpulkan, membuat dan menuliskan kembali ratusan pantun yang ada di otaknya. Beragam tema pantun mulai dari pantun kematian, pantun menjenguk orang sakit, pantun suami-istri, dan pantun kehidupan dirangkum ke dalam buku tersebut.
"Pergi ke pasar pake baju katun, lewat pasar ikan jalannye tanah. Dulu orang kite ketemu pasti berpantun, mari lestarikan jangan sampe punah," lanjut Bang Udin.
Uniknya Pantun
Kecintaannya pada dunia pantun membawa Bang Udin ke babak kehidupan yang baru. Beberapa sekolah dan sanggar kebudayaan pernah memintanya untuk mengajarkan pantun kepada para murid. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Bang Udin kebingungan soal metode pengajaran yang harus diterapkan di kelasnya.
"Itulah uniknya pantun. Pantun itu tidak bisa dipelajari, itu muncul dengan sendirinya. Kalau kata orang-orang mah, otodidak. Pantun apa saja saya bisa, tapi kalau disuruh ngajarin, saya nyerah dah," lanjut Bang Udin.
Bang Udin menjelaskan, pantun khas Betawi memiliki perbedaan signifikan dengan pantun di daerah lain, misalnya Melayu. Meskipun kebudayaan Betawi berakar dari budaya Melayu, pantun yang berkembang belakangan tetap berbeda. Dikatakannya, pantun Betawi memiliki sifat penegasan atas maksud dan tujuan ketimbang pantun Melayu. Kini, setelah ia menerbitkan buku yang ditandatangani langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Fauzi Bowo, cita-citanya tak lantas selesai.
Bang Udin masih bertekad mensosialisasikan pantun Betawi dengan beragam cara. Hal ini, antara lain, dengan terus membuat pantun dan ditampilkannya pada saat upacara Palang Pintum, sebuah upacara khas Betawi yang digelar sebelum pernikahan. Dengan demikian, ia berharap buah kebudayaan tanah kelahirannya tersebut dapat tetap dinikmati dan menjadi ilham bagi masyarakat, terutama kaum muda.
Pasalnya, ia prihatin dengan derasnya arus kebudayaan asing yang negatif bagi muda-mudi di Indonesia termasuk anak-anaknya sendiri. Untuk itu, meski tugas berat menantinya, ia tetap bertekad mewujudkan cita-citanya, membawa pantun tak hanya promadona di Jakarta saja, namun juga di dunia. Tak lupa ia menggambarkan situasi memprihatinkan tersebut lewat bait pantun.
"Membeli ikan ikan tenggiri, Kaga dijage dimakan kucing. Kita harus idolakan budaya sendiri, jangan malah bangge dengan budaye asing."
"Buaya mencari makan, melate di waktu pagi. Budaya harus dipertahankan, kalau bukan kite mau siape lagi," lanjutnya sambil tertawa.
Anda sedang membaca artikel tentang
Bang Udin, Raja Pantun dari Ciliwung-Condet
Dengan url
http://mobile-sulition.blogspot.com/2012/11/bang-udin-raja-pantun-dari-ciliwung.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Bang Udin, Raja Pantun dari Ciliwung-Condet
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Bang Udin, Raja Pantun dari Ciliwung-Condet
sebagai sumbernya
0 komentar:
Post a Comment