JAKARTA, KOMPAS.com — Tertangkapnya Tubagus Chaeri Wardana (TCW) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyingkap tabir realitas politik Banten. Sejak provinsi Banten berdiri, wilayah tersebut dikuasai oleh klan Ratu Atut Chosiyah yang "dibekingi" oleh Partai Golongan Karya (Golkar) dan kelompok Jawara di Banten. Pengamat politik dari Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta), Abdul Hamid, menilai, setidaknya ada tiga alasan keluarga Atut lebih dominan dibandingkan dengan klan atau kekuatan politik lain di Banten.
"Pertama, mereka memiliki kekuatan ekonomi paling kuat karena mendominasi proyek-proyek pemerintah sejak Provinsi Banten berdiri," katanya melalui pesan elektronik kepada Kompas.com, Rabu (16/10/2013).
Berdasarkan penelusuran awal yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Banten terhadap Pemerintah Provinsi Banten dan Kementerian Pekerjaan Umum, klan Atut memenangi 175 proyek senilai Rp 1,148 triliun dalam kurun waktu antara 2011 hingga 2013. Dominasi proyek-proyek itu dilakukan melalui sepuluh perusahaan yang dikendalikan langsung keluarga Atut dan 24 perusahaan yang dimiliki para kroni Atut.
"ICW menduga adanya permainan dalam pemenangan proyek layaknya arisan keluarga," jelas Koordinator Divisi Politik Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, beberapa waktu lalu.
Kedua, menurut Hamid, berkuasanya Atut juga disebabkan pragmatisme partai politik sehingga klan Atut bisa menyewa partai-partai sebagai kendaraan politik. Meski kendaraan utamanya Golkar, pada pemilihan bupati Tangerang 2007 dan 2012, mereka juga menggunakan partai lain. Kuatnya pengaruh klan Atut ke partai-partai politik, kata Hamid, juga berdampak pada kuatnya pengaruh mereka di DPRD Banten.
"Foto anggota Banggar (Badan Anggaran) DPRD Banten yang nonton bareng F1 dengan TCW menunjukkan hal itu," sambungnya.
Selain didukung faktor politik dan ekonomi, klan Atut juga ditopang oleh kelompok jawara di Banten sebagai faktor ketiga. Hamid mengatakan Ayah Atut, Chasan Sochib, merupakan binaan Golkar yang mengorganisasikan kelompok jawara pada masa Orde Baru. Kedekatannya dengan orang-orang pemerintah membuat Chasan menjadi jembatan antara militer, birokrasi, Golkar, dan masyarakat Banten.
"Dia (Chasan) yang membentuk Satkar Jawara yang sekarang bernama PPPSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia)," tambahnya.
Sejak Banten terpisah dari Provinsi Jawa Barat, kelompok jawara tersebut menguasai administrasi pemerintahan di Banten. Puncaknya, anak Chasan, Ratu Atut, menjadi Wakil Gubernur Banten, mendampingi (alm) Djoko Munandar, yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat Djoko tersangkut korupsi, Ratu Atut menjadi Gubernur Banten pada tahun 2005.
Berdasarkan data yang dihimpun, klan Atut menguasai empat dari delapan kabupaten/kota yang ada di Banten. Empat kabupaten/kota itu masing Kabupaten Serang (Ratu Tatu/adik tiri Atut), Kabupaten Pandeglang (Heryani/ibu tiri Atut), Kota Serang (Tubagus Haerul Jaman/adik tiri Atut), dan Kota Tangerang Selatan (Airin Rachmi Diany).
Hamid juga menuturkan, kelompok jawara ini sering melakukan kekerasan, terutama sebelum era pilkada langsung tahun 2002-2006. Korban utama kekerasan tersebut, kata Hamid, adalah para jurnalis. Hal inilah yang menyebabkan kasus-kasus korupsi dan kekerasan tidak muncul di media lokal Banten.
"Tapi sekarang polanya berubah. Kalau dulu menggunakan kekerasan, sekarang lebih banyak menggunakan advertorial atau iklan pemerintah sebagai alat menekan media," tandasnya.
Editor : Caroline Damanik
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik: