JAKARTA,KOMPAS.com - Perbankan belum bisa mengoptimalkan devisa hasil ekspor (DHE) sebagai sumber dana valas. Sebab, bank tidak bisa melarang nasabah memindahkan valasnya ke bank luar negeri, meskipun sudah sempat mampir ke Indonesia. Hal tersebut terkait dengan prinsip devisa bebas yang dianut negara ini.
"Kami tidak punya produk yang bisa menahan valas tersebut lebih lama. Pengusaha juga menggunakan hasil ekspornya untuk ekspor-impor, sehingga perputarannya cepat," ujar Direktur Keuangan Bank Danamon, Vera Eve Liem, Senin (19/2/2013). Dia mengatakan saat ini sumber utama valas masih berasal dari dana pihak ketiga (DPK), alias simpanan masyarakat di perbankan.
Per Desember 2012, DPK valas Bank Danamon mencapai Rp 12 triliun, tumbuh 33 persen d ari tahun sebelumnya. Dana tersebut hanya disalurkan untuk trade finance dan pembelian alat berat yang mencapai 8 persen dari total kredit sebesar Rp 116,39 triliun.
Saat ini, perbankan di Indonesia sedang dihantui krisis likuiditas valas. Per Desember 2012, total DPK valas dari semua perbankan mencapai Rp 467,67 triliun, tumbuh 21,02 persen year on year (yoy). DPK valas hanya berkontribusi 2,93 persen dari total DPK perbankan yang mencapai Rp 3.225,2 triliun. Potensi pengetatan likuiditas tergambar dari tingginya rasio intermediasi atau loan to deposit ratio (LDR) valas yang mencapai 91,27 persen.
DHE yang masuk ke perbankan per Desember 2012 mencapai 107,4 miliar dolar AS, sedang yang di luar negeri sebanyak 22,3 miliar dolar AS. Eksportir yang paling patuh menyetor DHE ke bank domestik adalah industri kelapa sawit, tekstil, dan bahan kimia. Saat ini DHE 'dikuasai' 10 bank besar, antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, Citibank, dan Danamon.
Direktur Eksekutif Humas BI, Difi A Johansyah, mengatakan pencapaian DHE yang bisa dipertahankan berada di dalam negeri saat ini lebih baik dibanding sebelum kebijakan berlaku. Capaian 2012, sebut dia, DHE yang masuk ke bank domestik mencapai 87 persen dari total ekspor. "Sisanya DHE migas. Kalau perusahaan migas patuh, DHE yang masuk bisa mendekati 100 persen dari total ekspor," katanya. Pada 2011, capaian DHE yang bisa disimpan di dalam negeri kurang dari 80 persen.
Difi tak bisa memastikan jumlah valas hasil ekspor yang akhirnya benar-benar mengendap di bank domestik. Sebab, si eksportir langsung mencampuradukkan DHE dengan dana-dana lain. "Ada yang langsung digunakan bayar utang, impor, atau langsung dipindahkan ke bank luar negeri. Sulit dideteksi," katanya.
EVP Transactional Banking Bank Mandiri, Adrijanto, juga tidak bisa memastikan DHE yang mengendap di bank pelat merah ini . Per November 2012, rincian Transaksi Ekspor (RTE) DHE Mandiri mencapai 18,8 miliar dolar AS dan pada akhir tahun diprediksi mencapai 21-22 miliar dolar AS, dari total DHE yang dikelola pada tahun itu senilai 66 miliar dolar AS.
Andrijanto menambahkan, untuk memenuhi likuiditas valas Bank Mandiri mengandalkan DPK dan line kredit bank lain. Total dana di giro valas Mandiri mencapai 3,6 miliar dolar AS. "Dana restorasi (ASR) bisa jadi sumber likuiditas sebab dana ini mengendap selama perusahaan migas beroperasi. Bila trustee berdiri, DHE baru bisa jadi sumber likuiditas," ujarnya. Tahun lalu dana ASR yang mengendap di Bank Mandiri mencapai 120,95 juta dolar AS.
Sedangkan di Bank BNI, hingga Desember 2012, DHE yang mengalir ke letter of credit (LC) mencapai 2 miliar dolar AS, melalui remittance 28,55 miliar dolar AS. Sehingga total DHE yang dikelola bank ini mencapai 30,55 miliar dolar AS.
BNI pun mengakui tak dapat memantau langsung DHE yang mengendap di bank. Sebab valas hasil ekspor langsung masuk ke rekening operasional eksportir. "Semuanya tergantung eksportir, kapan harus bayar kewajiban," kata Kepala Divisi Internasional BNI, Firman Abdullah Wibowo.
Sumber :
Editor :
Palupi Annisa Auliani