Barikin - Kalimantan tak hanya menyimpan cerita tentang intan, hutan, orangutan, batubara, suku Dayak, ataupun sungainya yang meliuk-liuk. Kalimantan juga memiliki tari Topeng yang sudah berusia 600 tahun. Kalimantan pun memiliki seorang maestro tari topeng yang berusia lebih dari satu abad. Berikut kisahnya.
Sekitar 130 km utara Banjarmasin, sekitar 6-7 jam pulang-pergi lewat jalur darat, persis di sisi jalan trans Kalimantan yang menghubungkan Kalsel dengan Kalimantan Timur, terletaklah Desa Barikin. Di desa inilah rombongan GELAR dan wartawan dari Jakarta akan menyaksikan tari Topeng yang penuh daya pikat itu.
"Semoga semuanya lancar. Kita sudah siapkan semuanya untuk tolak balanya. Sesajen, kalau di Jawa," kata Abdul Wahab Syarbaini, pemilik Sanggar Ading Bastari Barikin sekaligus menjadi sohibul hajat menjamu rombongan.
Sesajen yang dipersiapkan mirip sesajen yang kerap disajikan di berbagai acara tradisional di Pulau Jawa. Wajik, dodol, kelapa, telor, pisang, hingga kopi pahit. Sebelum memeragakan tarian yang kadang menyebabkan penari atau penonton trans alias kerasukan, para penari yang malam itu berjumlah empat orang diberikan tepung tawar oleh Hajjah Maimunah.
"Ini minta izin kepada leluhur untuk melancarkan pementasan. Juga untuk menawarkan rasa grogi dan gangguan," imbuh Syarbaini saat Maimunah mulai memercik air ke wajah para penari, yakni Siti Sarmila, Normia Agustina, Hini, dan Jaenah.
Tari Dimulai
Alunan gending yang ditabuh sembilan lelaki membunuh malam yang sepi Senin (11/3). Irama musik karawitan Banjar dari kanung, babon, dan dawuh berdentang-denting dengan ritme konstan.
Asap dupa semakin tinggi, berkelak-kelok, seiring empat penari masuk ke dalam ruangan yang bercat merah jambu, senada kostum mereka. Asap dupa makin pekat mengisi ruang yang dipadati penonton yang berjumlah kurang lebih 50 orang.
Pentas itu digelar di sebuah ruangan berukuran sekitar 100 meter persegi milik Panti Asuhan Penyuluh Budi, di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Lampu utama dimatikan, diganti dengan lampu sorot warna kuning. Tari Topeng pun dimulai....
Barikin, Desa Seniman
Syarbaini menceritakan, Desa Barikin bisa dikatakan sebagai kampung seniman, karena hampir seluruh masyarakatnya bisa memainkan gamelan dan menari. Kesenian di Desa Barikin merupakan sisa-sisa kesenian keraton dari Kerajaan Nagara Daha.
"Kita semua ini keturunan Datu Taruna yang pindah ke Barikin setelah tidak mengabdi lagi di keraton Nagara Daha. Itulah sebabnya orang heran karena di Barikin tidak ada ada kerajaan, tidak ada candi," tambah Syarbaini seraya menambahkan, asal nama Barikin yang artinya berhitung. Menurutnya, warga Barikin selalu berhitung jika memenuhi undangan pentas, misalnya berhitung hari baik untuk berangkat dan untung-rugi.
Untuk melestarikan seni tradisi leluhur, Syarbaini menerangkan, dia bersama sejumlah tokoh lain di Barikin termasuk bersama anak sulungnya, Lupi Anderiani--lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta-- bahu membahu menghidupi tradisi seni.
Sanggar yang mereka bina kini mempunyai sekitar 50 orang anak didik. Mereka berlatih di kantor kelapa desa. Tak hanya tari topeng tapi mereka juga berlatih karawitan, wayang kulit, hingga tari klasik yang diberikan secara gratis.
"Satu-satunya [tari] Topeng di Banjar, ya cuma disini. Tak mungkin punah, karena upacara Topeng harus ada. Kalau di Jawa, seperti digelar untuk ruwatan," imbuh Syarbaini yang mewarisi darah seniman dari Icham, neneknya yang dikenal sebagai penari Topeng legendaris.
Hingga kini Syarbaini masih menyimpan 11 topeng kuno peninggalan nenek moyangnya. Diperkirakan, usia topeng-topeng itu sudah lebih dari 600 tahun. Topeng-topeng itu kini sudah tidak digunakan lagi, hanya disimpan, khawatir rusak kalau digunakan.
Topeng-topeng itu misalnya adalah topeng Ranggajiwa (punakawan), Pantul (semacam Gareng), Kalana (raja), Pinambi, Pamindu, Patih, dan Panji. Semuanya masih berbau kerajaan Majapahit karena diperkirakan dari sanalah kesenian ini memang berakar yang masuk ke Banjar bersama kesenian wayang.
"Topeng Temanggungnya hilang, entah ke mana," sambung Upi, nama sapaan Lupi. Kini, tarian topeng Banjar menggunakan topeng dari kertas karena tidak ada yang berani dan mampu membuat topeng-topeng dari kayu dengan alasan takut kena bala.
Topeng-topeng yang berusia ratusan tahun ini pun diperlakukan khusus seperti tiap malam Senin dan malam Jumat diberi kopi pahit.
Astaliah, Si Maestro Tari Topeng
Tak jauh dari tempat tinggal Syarbaini hidup seorang maestro tari topeng Barikin yang berusia hampir satu abad. Nenek Astaliah namanya. Bila dihitung dari tahun lahir di KTP Astaliah, saat ini ia berusia 121 tahun.
Meski sudah lebih dari 51 tahun tak menari, Astaliah masih sehat. Suaranya pun masih jelas dalam Bahasa Banjar saat menjawab pertanyaan. Terlihat dia belum pikun.
"Baru sekitar satu tahun ini Nini (nenek) mengalami rabun. Sebelumnya sehat-sehat saja," kata cucunya, Muhammad Rusli, yang menerjemahkan jawaban Nini yang hanya bisa berbahasa Banjar itu.
Semasa masih aktif menari, Nini mahir menarikan tujuh jenis tujuh topeng yakni Pamindu, Patih, Kalana, Gunung Sari, Pinambi, Temanggung, dan Panji.
Sayang, dalam garis keturunan Astaliah, tak ada yang ikut melestarikan budaya leluhur itu. Rusli sendiri lebih tertarik ke urusan politik.
"(Bisa menari) Kelana, Gunung Sari, Patih, Temanggung, Pinambi, Pamindu. (Paling sering) menari Kelana karena banyak pejabat yang suka," kata Astaliah dengan suara yang jelas meskipun giginya tak ada yang tesisa.
Lalu apa ada kaitannya antara menari topeng dengan resep umur panjang? "Menari itu satu kesenian. Amaliahnya (amalannya) hanya baca shalawat tiap kali mandi, tiap hari itu saja kata Nini, yang hingga kini tidak pikun," tambah Rusli.
Bahkan, sampai ini, meskipun sudah lama tidak menari, tapi jiwa penari Astalia tidak pernah mati. Tangannya masih berketuk-ketuk mengikuti irama jika dia mendengar alunan gending.
Optimisme yang ditunjukan oleh Astalia, dan juga regenerasi penari topeng yang terus berjalan hingga kini membuat Bram Kushardjanto dan Kumoratih Kushardjanto yang merupakan founder dan co-founder GELAR bisa lega dan tersenyum untuk sementara waktu.
"Awalnya kami kira tari topeng Banjar akan mati dan istilahnya kita sudah siapkan 'peti matinya' yang baik dengan pendokumentasian. Ternyata kami keliru, karena tari Topeng Banjar masih eksis," kata Ratih.
Malam itu, mungkin saja, dari rumahnya, jemari Astaliah terus berketuk-ketuk mendengarkan gending pengiring tari Topeng yang digelar tak jauh dari rumahnya. Jiwa yang berputar-putar, terus menari, tak pernah mati, meski hanya sejenak.